Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi tonggak bagi perubahan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Sidang PPKI kedua tanggal 19 Agustus 1945 memutuskan Djawatan Kepolisian Negara berada dibawah Kementerian Dalam Negeri. Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN). Jawatan Kepolisian Negara tidak dapat bekerja secara efektif karena hanya bertanggung jawab masalah administrasi kepada Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Selain itu lembaga kepolisian tidak mempunyai hubungan komando vertikal ke provinsi maupun kabupaten. Di tingkat karesidenan, secara organisatoris kepolisian berada di bawah residen, demikian pula di tingkat kabupaten berada di bawah Bupati. Kepala Kepolisian Negara R.S. Soekanto mengajukan pertimbangan kepada pemerintah melalui Perdana Menteri Sutan Sjahrir tentang pentingnya melakukan perubahan kedudukan Kepolisian Negara menjadi Kepolisian Nasional. Pada tanggal 1 Juli 1946 pemerintah mengeluarkan Surat Penetapan No. 11/S-D Tahun 1946 dengan keputusan, mengeluarkan Jawatan Kepolisian dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri menjadi Jawatan tersendiri dan langsung berada di bawah Perdana Menteri. Agresi militer Belanda I dan II memberikan dampak terhadap kepolisian, yang menyebabkan terhentinya pembangunan kepolisian, karena polisi ikut serta dalam pertahanan disamping tugas kepolisian biasa. Dalam situasi perang tersebut, tugas- tugas kepolisian yang pada umumnya tetap seperti semula, hanya mengenai pengerahan tenaga-tenaga kepolisian untuk tugas-tugas militer. Dalam hal ini karena sedang dalam keadaan perang. Selain ikut dalam memperjuangkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat perang, polisi juga dilibatkan dalam operasi-operasi keamanan dalam negeri seperti penumpasan PKI Madiun; DI/TII di Jawa Barat; Aceh, Sulawesi Selatan; PRRI/Permesta dan lain-lain.